JAKARTA, KOMPAS.com — Pemangkasan dana anggaran penanganan perkara pidana umum di kejaksaan dinilai membuat institusi Kejaksaan Agung layaknya suatu badan usaha yang mandiri.
Padahal, kejaksaan merupakan salah satu bagian penting dalam proses penanganan perkara dari penyidikan ke penuntutan di pengadilan. "Saya menemukan bahwa dalam sistem penganggaran danauditing, kejaksaan dinilai sama seperti BUMN dan BUMD, outputsama input mesti jelas," ujar akademisi hukum, Narendra Jatna, di Gedung YLBHI, Jakarta, Minggu (13/3/2016).
Sebagai contoh, menurut Narendra, kejaksaan dituntut untuk menyelesaikan jumlah perkara sesuai dengan anggaran yang diberikan. Sementara itu, jika dana anggaran tidak terpakai seluruhnya, kejaksaan akan dianggap gagal melakukan penyerapan. Padahal, menurut Narendra, penanganan satu perkara tidak selalu sampai berakhir dengan putusan hakim di pengadilan.
Bisa jadi, kasus yang sedang ditangani jaksa dihentikan karena tersangka atau terdakwa dalam perkara tersebut meninggal dunia. "Bagaimana jika ada deponering, bagaimana jika ada SKP2, atau ada yang meninggal?" kata Narendra. Pada 2015, dana anggaran perkara pidana umum di kejaksaan dialokasikan untuk mampu menangani 120.019 perkara. Namun, pada tahun ini, dana anggaran yang diberikan hanya bisa untuk menyelesaikan 39.514 perkara.
usaha pangkalan gas saya saat ini mengalami kendala maslah perjanjian, apakah bisa dituntut secara hukum
BalasHapus