Hukum Online - Kejaksaan Agung (Kejagung) masih punya peluang untuk mengecualikan profesi jaksa dalam ketentuan UU Nomor 5 Tahun 2014tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN). Upaya itu bisa masuk melalui Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Aparatur Sipil Negara (RPP Manajemen ASN). Hal itulah yang terungkap dalam diskusi bulanan yang diselenggarakan Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) bekerjasama dengan Badan Pendidikan dan Pelatihan (Badiklat) Kejaksaan RI.
“Itu kesempatan yang bisa diambil,” ujar Jaksa Fungsional di Rancangan Pertimbangan Biro Hukum Kejaksaan Agung, Prinuka Arrom saat mewakili Kepala Biro Hukum Kejagung di Aula Wira Komplek Badiklat Kejaksaan RI, Jumat (4/2).
Prinuka mengatakan, bahwa peluang ‘satu-satunya’ agar profesi jaksa dimasukkan sebagai profesi yang punya kekhususan dalam RPP Manajemen ASN lantaran Presiden Joko Widodo menolak untuk meneken RPP tersebut. Alasan yang lain, lanjutnya, lantaran masih ada sejumlah Kementerian yang tidak sepakat dengan salah satu substansi dalam RPP tersebut.
Salah satu yang tidak sepakat adalah Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang ‘cukup keras’ meminta Diplomat agar dimasukan sebagai kekhususan dalam jabatan fungsional dalam RPP Manajemen ASN itu. Hal itu sebetulnya tidak jauh berbeda dengan yang diinginkan profesi jaksa untuk dimasukkan sebagai kekhususan dalam jabatan fungsional.
“Selama tidak dimasukkan sebagai kekhususan dalam jabatan fungsional dia (Kemenlu) tidak mau,” terangnya.
Oleh karena itu, Prinuka menilai, mestinya hal yang sama bisa dilakukan untuk profesi jaksa. Kejagung mestinya juga bisa ‘keras’ meminta profesi jaksa agar dikecualikan dalam UU ASN lewat RPP Manajemen ASN. Sebab, jika profesi jaksa tidak dikecualikan, maka profesi jaksa hanya akan dipandang sebagai pegawai negeri atau ‘ASN biasa’. Tak hanya itu, ada implikasi serius ketika profesi jaksa ini tetap dianggap sebagai ASN biasa.
Implikasi lainnya itu, antara lain terkait dengan tunjangan jabatan fungsional yang terancam akan hilang. Dalam RPP tentang Gaji, Tunjangan, dan Fasilitas turunan dari UU ASN nantinya akan diatur mengenai penghapusan semua peraturan mengenai gaji dan tunjangan bagi ASN. “Di Kejaksaan tunjangan fungsional jaksa dibayar. Masa gara-gara UU ASN dan RPP Gaji dan tunjangan tidak dibayar? Padahal tunjangan fungsional itu diatur dalam Perpres,” keluhnya.
Dalam kesempatan itu, Pranika mengungkapkan bahwa langkah strategis lain yang bisa dilakukan Kejagung adalah dengan memberi masukan ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (Kemenpan) bahwa profesi jaksa di Kejaksaan melekat antara jabatan struktural dan jabatan fungsional yang tidak bisa dipisahkan. Sebab, dalam UU ASN nantinya akan dipisah antara jabatan struktural dengan jabatan fungsional.
“Misalnya A seorang Kajari di Jaksel itu jabatan struktural. Ia juga sebagai Kajari Jaksel dan Jabatan Fungsionalnya jaksa. Tapi kalau di RPP Manajemen ASN dia harus lepas jabatan fungsionalnya. Tapi masalahnya, seorang Kajari jadi tidak bisa tanda tangan P-7 (Penahanan), P-48 (Eksekusi). Begitupun seorang Kasipidum atau Kasipidsus harus melepaskan jabatan fungsionalnya. Padahal tugas di kejaksaan itu terkait,” tukasnya.
Di tempat yang sama, Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Timur R Narendra Jatna mengatakan, jika tak dikecualikan maka akan ada hal yang gawat terjadi pada profesi jaksa. Menurutnya, Indonesia akan kehilangan sekitar 2/3 jaksa yang ada di seluruh Indonesia. Alasan Narendra itu berangkat dari adanya pemisahan untuk profesi jaksa terkait dengan jabatan struktural dan jabatan fungsional yang sejatinya sejalan dengan doktrin Kejagung adalah satu yang tidak terpisahkan (een en ondeel barheids).
“Kalau dibiarkan, Indonesia kehilangan 2/3 Jaksa, chaos ini Indonesia. Jaksa di Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun), Jaksa di Intelijen, Jaksa di Pembinaan tidak dihitung lagi sebagai profesi jaksa oleh Kemenpan. Jadi yang disebut jaksa hanya yang di Pidana Umum (Pidum) dan Pidana Khusus (Pidsus),” katanya.
Terkait dengan strategi ‘masuk’ lewat RPP Manajemen ASN, sebenarnya ia menilai langkah itu tidak cukup ideal. Meski dimungkinkan lewat ‘jalan’ itu, ia melihat jalan yang lebih ideal justru masuk lewat kebijakan melalui Presiden Joko Widodo. “Jadi kita bikin strategi bagaimana top-down (dari atas ke bawah),” tukasnya.
Sementara itu, Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) Choky R Ramadhan yang juga hadir juga sebagai narasumber mengusulkan opsi lain yang bisa dilakukan oleh Kejaksaan untuk mengecualikan profesi jaksa sebagai ASN. Opsi itu, melalui revisi RUU Kejaksaan.
Pasal 9 ayat (1) huruf h UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia menyebutkan syarat untuk menjadi jaksa adalah pegawai negeri sipil. Dalam draf RUU Kejaksaan versi Biro Hukum Kejaksaan Tahun 2012, Pasal 9 ayat (1) huruf a RUU Kejaksaan berbunyi syarat untuk diangkat menjadi jaksa adalah aparatur sipil negara yang lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa.
Menurut Choky, nantinya dalam draf RUU Kejaksaan selanjutnya bisa diubah terutama terkait dengan pasal syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi jaksa. Ia usul nantinya frasa ‘pegawai negeri sipil’ dalam UU Kejaksaan diubah menjadi frasa ‘pegawai negeri Kejaksaan’.
“Revisi itu nantinya jadi ‘ladang pertempuran’ sendiri. Mestinya pasal itu mengatur syarat diubah menjadi ‘pegawai negeri kejaksaan’,” pungkasnya.
0 komentar:
Posting Komentar